Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 215 juta jiwa (BPS, 2010) tergolong negara sedang berkembang dengan peringkat Human Development Index ke-111 dari 172 negara (UNDP, 2010). Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS, 2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33%), turun 1,15 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15%). Namun angka kemiskinan tersebut hanya merupakan jumlah penduduk miskin yang tergolong miskin absolut diukur dari pendapatan yang ditetapkan sebagai standar minim (Kompas.com,2011). Artinya, angka tersebut tidak menggambarkan kemiskinan dari berbagai dimensi lainnya seperti kualitas standar hidup, kesehatan, dan lainnya. Belum lagi jumlah tersebut akan semakin besar bila menghitung jumlah penduduk tidak miskin yang memiliki kerentanan terhadap kemiskinan. Hal ini tentunya menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia menghadapi dampak yang muncul sebagai implikasi dari kemiskinan tersebut.
Kemiskinan atau status sosio-ekonomik (SES) rendah di Indonesia merupakan faktor resiko yang memiliki dampak cenderung berkepanjangan dan kompleks. Dampak kemiskinan yang berkepanjangan ditunjukkan dengan situasi-situasi sulit yang secara kontinu dihadapi oleh individu, dimana kompleksitas dampak kemiskinan tersebut akan semakin menyebar ke berbagai dimensi. Kemiskinan memiliki resiko bagi perkembangan fisik, sosioemosional dan kognitif yang sehat dalam sebuah keluarga (Evans, 2004).
Ketika kemiskinan menyebabkan kericuhan dalam sebuah keluarga maka kecenderungan perkembangan kesehatan sosioemosional dan kestabilan dalam sebuah keluarga menjadi terganggu (Evans, 2004). Bagi orang tua, perjuangan untuk keluar dari kemiskinan menjadi harapan besar sehingga dapat terlepas dari kesulitan yang membelenggunya. Namun, kemiskinan pada akhirnya menjadi hambatan bagi mereka untuk memperoleh kesempatan meningkatkan ketrampilan kerja apalagi untuk membuka lapangan kerja sendiri yang lebih baik. Dalam kondisi tersebut orang tua miskin akan semakin kesulitan dengan makin sempitnya lapangan usaha sedangkan tuntutan kebutuhan mereka yang harus dicukupi semakin banyak. Situasi ini menjelaskan dimana dampak kemiskinan memiliki efek berkepanjangan ketika kemiskinan akan membuat individu atau keluarga mengalami kesulitan keluar dari kemiskinan yang diakibatkan oleh kemiskinan itu sendiri.
Kepala keluarga miskin yang tidak memiliki kemampuan menghadapi kemiskinan (coping with poverty) dengan baik akan menjadikan kondisi kemiskinan tersebut sebagai sumber stres dengan faktor resiko tinggi. Secara psikologis, kemiskinan dapat menimbulkan trauma emosional karena iklim kemiskinan yang penuh tekanan, menguras energi baik psikis maupun emosi (Pellino, 2005). Trauma emosional secara terus menerus menjadi pengalaman kuat yang pada akhirnya dapat menimbulkan stres dalam kehidupan atau disebut stressful life events.
Situasi yang berkekurangan dan makin kecilnya kesempatan meraih kehidupan yang lebih baik akan memudahkan munculnya kebiasaan hidup orang dewasa yang kriminil atau pola perilaku destruktif (Kartono, 2000), ketidakmampuan seorang kepala keluarga untuk melakukan adaptasi secara positif dalam menghadapi kemiskinan akan mengarahkan pada resiko kesehatan mentalnya. Namun Lopez (2009) juga mengungkapkan jika seorang kepala keluarga mampu mencapai tingkatan kehidupan dengan adaptasi normal atau positif pada situasi kehidupan yang berkekurangan maka dikatakan bahwa orang tersebut resilien. Menurut Lopez (2009) ada keterkaitan kuat antara kemampuan beradaptasi dalam situasi beresiko seperti kemiskinan, tekanan hidup (adversity), stressful life experiences dengan kesehatan mental seseorang. Dengan demikian seorang kepala keluarga dengan status sosio-ekonomi rendah dikatakan memiliki resilien tinggi bilamana ia mampu tetap bertahan atau mencapai tingkatan hidup yang lebih baik dengan adaptasi yang positif.
Bagaimana seorang kepala keluarga dapat menjadi resilien?
Menurut Benzies dan Mychasiuk (2009), resiliensi dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko dan juga faktor-faktor protektif. Dukungan sosial sebagai salah satu dari faktor-faktor protektif merupakan variabel di luar individu yang mendorong adaptasi positif atas suatu adversity (situasi yang menekan). Beberapa penelitian yang dilakukan para ilmuwan psikologi mendukung bahwa stres ekonomi memiliki hubungan negatif dengan dukungan sosial yang diberikan kepada kepala keluarga (Lepore, Evans, & Schneider, 1991; Evans, 2004). Pentingnya keluarga untuk saling mendukung satu sama lain. memberikan support yang positif akan memberikan semangat serta meningkatkan motivasi individu dalam melewati masa sulit.
Selain dukungan sosial, beberapa penelitian mengungkapkan kualitas individu sebagai faktor protektif juga sangat berpengaruh pada resiliensi (Masten & Herbers dalam Lopez,2009; Alimi, 2009; Cutuli & Masten dalam Lopez, 2009). Locus of control merupakan salah satu karakteristik kepribadian penting yang dapat menjelaskan kualitas perilaku individu. Kusumowardhani dan Ancok (2006) menjelaskan locus of control sebagai kecenderungan individu dalam mengatribusikan penyebab atau pengendali peristiwa yang terjadi dalam hidupnya apakah bersumber dari luar dirinya (external locus of control) atau dari dalam dirinya (internal locus of control).
Dari hasil penelitian, individu yang resilien adalah individu dengan internal locus of control tinggi (Luthar dkk, 2000). Seorang dengan internal locus of control cenderung memegang kendali atas tindakan-tindakannya serta membuat perubahan untuk mencapai harapan-harapannya (Lopez,2009). Berkaitan dengan kemiskinan, individu dengan internal locus of control cenderung yakin bahwa ia dapat mengendalikan situasinya melalui perilakunya sehingga ia mengerahkan dirinya lebih besar tanpa tergantung pada orang lain yang dianggap berpengaruh baginya. Individu dengan internal locus of control juga menunjukkan adaptasi yang positif dalam menyelesaikan masalah; mereka cenderung menunjukkan sikap yang optimistis walaupun berhadapan dengan masalah, berinisiatif mencari informasi untuk memastikan rencana-rencananya berkerja dengan baik, mampu bekerja sama dengan orang lain, dan mereka juga tidak mudah menyerah.
Kemiskinan dapat terjadi pada siapapun.. Miskin kasih sayang, miskin harta, miskin pengetahuan, atau miskin yang lain. Tetapi kita mampu untuk keluar dari jerat kemiskinan tersebut. Dengan keyakinan dan usaha yang keras kita pasti mampu.
Referensi :
- Alimi, R. M. (2005). Resiliensi remaja “High Risk” ditinjau dari faktor protektif: studi di kelurahan Tanah Tinggi Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat. Tesis. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
- Benzies, K., & Mychasiuk, R. (2009). Fostering family resiliency: a review of the key protective factors. Child and Family social Work, 14, 103-114.
- Evans, G. W. (2004). The environment of childhood poverty. The American Psychological Association, 59 (2), 77-92.
- Lepore, S. J., Evans, G. W., & Schneider, M. L. (1991). Dynamic role of social support in link between chronic stress and psychological distress. Journal of Personality and Social Psychology, 61, 899-909.
- Lopez, S. J. (2009). The encyyclopedia of positive psychology. Vol II. Wiley-Blackwell.
- Luthar, S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The Construct of Resilience: A Critical Evaluation and Guidelines for Future Work. NIH Public Access : Child Developmental.
- Pellino, K. M. (2005) The Effect of poverty on teaching and learning.